Pengantar
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di
berbagai jenjang pendidikan selama ini sering diaggap kurang penting dan
dianaktirikan oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan dan apresiasi
sastra (dan budayanya) rendah. Hal ini menyebabkan mata pelajaran yang idealnya
menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini disajikan hanya sekedar
memenuhi tuntutan kurikulum, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang
mendapat tempat di hati siswa. Padahal, bila kita kaji secara mendalam, tujuan
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dimaksudkan untuk menumbuhkan
keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra
Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur.
Dengan demikian, tugas
guru bahasa dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan (aspek
kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa
cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar
kelas. Makalah ini mencoba mengulas beberapa hal yang berkait dengan realitas
sastra Indonesia saat ini, dampaknya terhadap pengajaran, serta alternatif
jalan keluarnya. Ulasan ini diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran kita
untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia pada tempat yang layak dan
sejajar dengan mata ajar lainnya.
Realitas Sastra Indonesia dalam
Masyarakat Indonesia Kini
Sastra dianggap kurang penting dan kurang
berperan dalam masyarakat Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat
kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri sehingga konsep-konsep
yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik dianggap lebih
penting dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat
terhadap kegiatan kesastraan (dan kebudayaan pada umumnya) merupakan salah satu
indikasi adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan (dan kebudayaan)
dianggap hanya memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang
mendesak dan masih dapat ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia
pendidikan. Perhatian para murid dan pengelola sekolah terhadap mata pelajaran
yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik jauh lebih besar
bila dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan (humaniora). Ketiadaan
laboratorium bahasa, sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai
fasilitas lain yang diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya
kepincangan tersebut.
Bila kita jujur dan masih tetap menganggap
pendidikan merupakan upaya lain untuk memanusiakan manusia, perhatian terhadap
semua materi ajar di sekolah haruslah seimbang dan saling sumbang. Tawaran
untuk menggunakan pendekatan integral dalam pengajaran berbagai materi ajar di
sekolah merupakan jalan keluar awal untuk mengakhiri kepincangan selama ini.
Sekarang tinggal lagi bagaimana guru menafsirkan konsep integralistik tersebut
dan bagaimana pula mewujudkannya dalam kegiatan pembelajaran, khususnya
pembelajaran sastra di sekolah sehingga mata pelajaran ini menjadi menarik dan
mendapat tempat di hati siswa. Hal-hal yang dapat dilakukan, antara lain
sebagai berikut.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah
meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat,
tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Pengajaran sastra
secara langsung ataupun tidak akan membantu siswa dalam mengembangkan wawasan
terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai
problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah
pengetahuan siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains. Penikmatan yang
apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre akan
membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah
teknik pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra (dan juga
bahasa) Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga
siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk memproduksi atau mengahayati karya
yang diajarkan. Tampaknya guru harus kembali melihat dan memahami tujuan
pengajaran sastra di sekolah sehingga konsep pengajaran yang apresiatif
benar-benar dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. Kita memang menayadari
adanya kesukaran dalam mengajarkan apresiasi sastra pada siswa yang tingkat
keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Kita juga menyadari bahwa
tidak semua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif memadai.
Namun demikian, guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih kemampuan
apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi kesastraan kepada siswa.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya
diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat
juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik
pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi,
dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan
kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk
menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut dijamin
akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik
pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini
adalah pemanfaatan dan pengadaan buku/ bacaan kesastraan di sekolah.
Pemerintah, di satu sisi, telah berusaha melengkapi buku bacaan untuk para
siswa melalui Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan ke
sekolah belum memadai, guru seharusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu
untuk memancing kreativitas membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu,
guru dan pihak sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat
kabar, kumpulan puisi, dan berbagai media lain yang harganya relatif murah.
Untuk kepentingan pengajaran sastra di Aceh, misalnya, guru cukup membeli
harian Serambi Indonesia edisi Minggu, atau harian-harian lain yang edisi
khususnya memuat/membahas masalah kesastraan/kebudayaan. Alternatif ini
diharapkan dapat membantu mengisi ketiadaan sumber belajar yang selama ini
menjadi kendala dalam pengajaran sastra.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu
dicarikan pemecahannya adalah sistem evaluasi pengajaran sastra (dan bahasa)
yang cenderung ke aspek kognitif/pengetahuan. Selama ini, ulangan caturwulan
dan ebtanas memang lebih terfokus pada evalusi pengetahuan para siswa. Guru
tidak perlu berkecil hati dengan kondisi ini. Kalau mau, evaluasi yang mengarah
ke penumbuhan keterampilan dan apresiasi masih dapat dilaksanakan di berbagai
kesempatan lain di luar dua bentuk evaluasi di atas. Evaluasi keterampilan dan
apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui penugasan di rumah, kegiatan
ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain. Sekarang tinggal lagi mau atau
tidakkah guru bahasa/guru kelas memanfaatkan kesempatan itu untuk evaluasi yang
tidak hanya mengagungkan aspek hafalan pada siswa.
Terakhir, guru bahasa
dan pihak sekolah tampaknya juga perlu mengaktifkan kembali sanggar-sanggar
siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar jam belajar secara langsung pasti
akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan
penghargaan yang positif terhadap sastra (dan bahasa) Indonesia pada siswa.
Bagaimanapun kita tetap bersepakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran
bakat/minat, dan pembinaan moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat
belajar secara formal di dalam kelas, tetapi juga melalui kegiatan
0 comments:
Post a Comment