Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi
sulit. (Reivich dan Shatté,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang
berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki
kemampuan tersebut dengan baik
Kemampuan ini terdiri dari:
1. Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan
untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan
meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat
mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan
suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan
hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian
emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu
kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua
hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan
fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat
membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu
dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls
sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan
yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali
mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada
situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di
sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan
dalam hubungan sosial.
3. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka
memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah
hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu
yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang
mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan
lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002). Optimisme
mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani
masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich & Shatté,
2002).
4. Empati Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda
psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik
individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich
& Shatté, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996)
menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang
lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang
yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif (Reivich & Shatté, 2002).
5. Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah
konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya
berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk
menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga
dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir
‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang
tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan
saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang
terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis
cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus
berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat
melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan
sebagai ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) :
individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada
satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan
gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari
masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang
memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang
signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam
explanatory style tertentu.
6. Efikasi diri Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai
keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah
dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil
dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam
memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi
yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang
memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan.
Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan
kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi
masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. 7. Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatté (2002),
resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam
hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan
dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis
dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat
gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek
positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan
dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan
Shatte, 2002)
Resiliensi
|
Written by Silvia Chandra
|
Ada
individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif
sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari
situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah
ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah
keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu
pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &
Fredrikson, 2004).
Pengertian
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah: “… a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45).
Dari
definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu
sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek
maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu
untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego
yang biasa mereka lakukan.
Dalam
perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal
pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen,
1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua
peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan
untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun
mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.
Wolff
(dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan
kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan
melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai
intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan
berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara
konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia
beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien.
Grotberg
(1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang
bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun
komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa
merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan.
Resiliensi
disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal,
2001), sebagai keterampilancoping saat dihadapkan
pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap “sehat” (wellness) dan terus
memperbaiki diri (self repair).
Lazarus
(dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi dengan
kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon
sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi
tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai
dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk
membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan
pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.
Banaag
(2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara
faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi
menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif,
sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan
“melunakkan” kesulitan hidup individu.
Liquanti
(1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan
kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi
tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari
penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari
gangguan mental.
Masten
& Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk
mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama
adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa
kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi
atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner).
Faktor-faktor
Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Grotberg
(1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan
berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri
pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan
sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk
kemampuan interpersonaldigunakan istilah’I
Can’.
Berikut
ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat
menggambarkan resiliensi pada individu. I Am, I Have, I Can merupakan
karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal
investigator of the Internasional Resilieance Project (Grotberg, 1995).
|
I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian
dari faktor I Am.
Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa
bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan
dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau
merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan
diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan
dan mengatasi masalah tersebut.
Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya.
Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi
respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain
adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan
bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu
merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya.
Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta
dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang
mempunyai spiritual yang lebih tinggi.
Mencintai, empati, altruistic; yaitu
ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan
berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain
dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu
merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan
sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan.
Bagian yang terakhir adalah mandiri
dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut
keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu
merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu
mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat
orang lain bertanggung jawab.
Setiap faktor dari I
Am, I Have, I Can memberikan
konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi
resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari
setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya
individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak
mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat
mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi.
Sumber bacaan:
Banaag, C. G. (2002). Reiliency,
street Children, and substance abuse prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol
3.
Bernard, B. (1995). Fostering
Resilience in Children. University
of Illinois at Urbana Champaign, Children Research Center.
Davis, N.J. (1999). Resilience
& School Violence Prevention: Research-based program. National Mental
Health Information Center.
Grotberg, E. (1995). A
Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation.
Hiew, C. C., Mori, T., Shimizu, Masuharu., & Tominaga, Mihoko.
(2000). Measurement Of
Resilience Development: Preliminary Result with a State Trait Resilience
Inventory. Journal of
Learning & Faculty of Education, Volume I. Hirosima University.
Klohnen, E.C. (1996). Conseptual
Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of
Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079.
Liquanti, R. (1992). Using
Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual
Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities, Far West Laboratory fo Educational
Research and Development. San Fransisco. Diambil dari http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/citu11bhtm(24/10/04).
Richmond, J. B. & Beardslee, W. R. (1988). (Resiliency :
Research and pracital applications for pediatricians.Journal of
Developmental and Behavioral Pediatrics, 9 (3), June, 157-163.
Tugade M.M & B.L. Fredrickson. (2004). Resilient Individual Use Positive
Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social
Psychology, Volume 24, no 2. 320-333.
<a title="View Tutorial CorelDraw on Scribd"
href="http://www.scribd.com/doc/12589475/Tutorial-CorelDraw"
style="margin: 12px auto 6px auto; font-family:
Helvetica,Arial,Sans-serif; font-style: normal; font-variant: normal;
font-weight: normal; font-size: 14px; line-height: normal; font-size-adjust:
none; font-stretch: normal; -x-system-font: none; display: block;
text-decoration: underline;">Tutorial CorelDraw</a><iframe
class="scribd_iframe_embed"
src="http://www.scribd.com/embeds/12589475/content?start_page=1&view_mode=list&access_key=key-zljkmlyzoifemvunlxm"
data-auto-height="true" data-aspect-ratio=""
scrolling="no" id="doc_89428" width="100%"
height="600" frameborder="0"></iframe>
I Can
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalahmengatur berbagai perasaan dan rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalahmengatur berbagai perasaan dan rangsangan dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, ‘kabur’, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
Mencari hubungan yang dapat dipercaya dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua,
saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan
perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan
masalah personal dan interpersonal.
Sumber yang lain adalah keterampilan berkomunikasi dimana individu mampu mengekspresikan
berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa
yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain.
Mengukur temperamen diri sendiri dan orang
lain dimana
individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang,
dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap
temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama
waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui
kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam
berbagai situasi.
Bagian yang terakhir adalah kemampuan
memecahkan masalah. Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta
mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan
apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai
masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat
dan menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai
masalah tersebut terpecahkan.
0 comments:
Post a Comment