Sebuah tes harus memenuhi
syarat-syarat tertentu sebagai alat pengukur, sebab memang tidak jarang
kesimpulan penting ditarik dan keputusan penting diambil berdasarkan
informasi-informasi yang berhasil diperoleh melalui penggunaan tes, padahal di
lain pihak kita menyadari kelemahan-kelemahannya yang sebagaian terletak pada
kurang cermatnya kita memerikasa alat pengukut (tes) itu sendiri. Kadang-kadang
tes yang dipergunakan tidak benar-benar mengukur apa yang mau diukur,
kadang-kadang tes itu kurang mencontoh aspek-aspek tingkah laku yang mau diukur
itu secara memadai, kadang hasil pengukuran tidak cukup mantap, kadang tidak ada
patokan interpretasi yang cukup tegas tentang benar tidaknya suatu jawaban, dan
kadang tes itu tidak cukup mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan kemampuan yang
kurang menyolok. Pada umumnya suatu tes dikatakan baik dalam hubungan dengan
sesuatu tujuan tertentu, biasanya dalam mengukur prestasi siswa dalam arti
seberapa jauh tujuan pengajaran tercapai, sedangkan tercakup dalam tujuan ini
adalah tujuan untuk memperlancar proses belajar belajar dalam rangka lebih
menyempurnakan cara-cara mengajar guru diwaktu-waktu yang akan datang.
1.
Validitas
Validitas berasal dari kata “validity” yang mempunyai arti sejauh
mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dala melakukan fungsi ukurnya Kata
“valid” sering diartikan dengan: tepat, benar, shahih, abash; jadi
kata validitas dapat diartikan dengan ketepatan, kebenaran, keshahihan
atau keabsahan. Apabila kata valid itu dikaitkan dengan fungsi tes sebagai alat
pengukur, maka sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dengan secara
tepat, secara benar, secara shahih, atau secara absah dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur. Dengan kata lain sebuah tes dikatakan telah
memiliki “validitas” apabila tes tersebut dengan secara tepat, benar, shahih
atau absah telah dapat mengungkap atau mengukur apa yang seharusnya diungkap
ataudiukur lewat tes tersebut. Jadi tes hasil belajar dapat dinyatakan valid
apabila tes hasil belajar tersebut (sebagai alat pengukur keberhasilan belajar
peserta didik) dengan secara tepat, benar, shahih atau absah telah dapat
mengukur atau mengungkap hasil-hasil belajar yang telah dicapai oleh peserta
didik, setelah mereka menempuh proses belajar mengajar dalam jangka waktu
tertentu. Suatu tes dapat memiliki validitas yang bertingkat-tingkat: tinggi,
sedang, rendah, bergantung pada tujuannya. Sehubungan dengan itu ada
beberapa jenis validitas, yaitu:
a. Content Validity (Validitas Isi)
Suatu tes dikatakan memiliki content validity jika scope dan isi tes itu sesuai
dengan scope dan isi kurikulum yang sudah diajarkan.
b. Construct Validity
(Validitas Konstruksi)
Untuk menentukan adanya construct validity, suatu tes
dikorelasikan dengan satu konsepsi atau teori. Item dalam tes itu harus sesuai
dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam konsepsi tadi, yaitu konsepsi
tentang objek yang akan dites. Dengan kata lain hasil-hasil tes itu
disesuaikan dengan tujuan atau crri-ciri tingkah laku yang hendak diukur.
c.
Predictive Validity (Validitas Ramalan)
Suatu tes dikatakan memiliki predictive
validity jika hasil korelasi tes itu dapat meramalkan dengan tepat keberhasilan
seseorang pada masa mendatang di dalam lapangan tertentu.
d. Concurrent Validity
(Validitas kesamaan/bandingan)
Jika hasil suatu tes mempunyai korelasi yang
tinggi dengan hasil suatu alat ukur lain terhadap bidang yang sama pada waktu
yang sama pula, maka dikatakan tes itu memiliki concurrent validity.
2.
Reliabilitas
Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata “reliability”
yang mempunyai asal kata “rely” dan “ability”. Kata “reliabilitas” sering
diterjemahkan dengan keajegan (stability) atau kemantapan (concistency).
Apabila istilah tersebut dikaitkan
dengan fungsi tes sebagai alat pengukur mengenai keberhasilan belajar peserta
didik, maka sebuah tes hasil belajar dapat dinyatakan reliabel apabila
hasil-hasil pengukuran yang dilakukan berulangkali terhadap subyek yang sama,
senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg dan
stabil. Dengan demikian suatu tes dikatakan telah memiliki reliabilitas
(daya keajegan mengukur) apabila skor-skor atau nilai-nilai yang diperoleh
para peserta tes untuk pekerjaan ujiannya adalah stabil, kapan saja, dimana
saja dan oleh siapa saja tes itu dilaksanakan.
3. Objektivitas
Sebuah tes hasil
belajar dapat dikatakan sebagai tes hasil belajar yang objektif, apabila tes
tersebut disusun dan dilaksnakan “menurut apa adanya”. Di tinjau dari segi isi
atau materi tesnya, maka istilah “apa adanya” itu mengandung pengertian bahwa
materi tes tersebut adalah diambilkan atau bersumber dari materi atau bahan
pelajaran yang telah diberikan sesuai atau sejalan dengan tujuan instruksional
khusus yang telah ditentukan. Ditilik dari segi pemberian skor dan penentuan
nilai hasil tesnya, maka istilah “apa adanya” itu terkandung pengertian bahwa
pekerjaan koreksi, pemberian skor dan penentuan nilainya terhindar dari
unsur-unsur subyektifitas yang melekat pada diri penyususn tes.
4.
Praktikabilitas (Practicability)
Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas
yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes
yang praktis adalah tes yang:
a. Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut
peralatan yang banyak atau yang sulit pengadaannya.
b. Mudah pemeriksaannya,
artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban maupun pedoman
skoringnya.
c. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
5. Ekonomis. Yang
dimaksud dengan ekonomis disini adalah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak
membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang
lama.
0 comments:
Post a Comment