Pendekatan
Discoveri (Discovery Approach)
a. Pengertian
Pendekatan Discoveri (Discovery Approach)
Pendekatan
(approach) lebih menekankan pada strategi dalam perencanaan. Dalam suatu
pendekatan didalamnya digunakan beberapa metode. Sedangkan dalam discovery
approach ini, yang sering dipakai adalah metode eksperimen untuk mencapai
suatu tujuan pembelajaran.[1]
Menurut
Sund discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan
suatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut
antara lain ialah: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat
dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dalam teknik
ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri,
guru hanya membimbing dan memberikan intruksi.[2]
Pendekatan
discoveri atau discovery approach adalah pendekatan yang dipopulerkan
pertama kali oleh Jerome Bruner. Pendekatan penemuan (discovery approach) sama
dengan pendekatan inquiry (inquiry approach), tetapi menurut Dettrick,
G.W. (2001) kedua pendekatan tersebut berbeda. Konsep dibelakang pendekatan penemuan
adalah bahwa motivasi siswa untuk belajar sains akan meningkat apabila ia
mempunyai pengalaman seperti yang dialami para peneliti ketika menemukan suatu
temuan ilmiah. Agar siswa dapat menemukan sendiri ia harus melakukan proses
mental seperti mengamati, klasifikasi, mengukur, meramalkan, dan menyimpulkan.[3]
Pendekatan
discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental,
seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, menjelaskan, dan mengambil
kesimpulan. Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan
siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Keterampilan mental yang
dituntut lebih tinggi dari pada discovery antara lain: merancang dan
melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil
kesimpulan.[4]
Ada
juga beberapa ahli pendidikan yang memandang bahwa pendekatan discoveri adalah
suatu strategi dimana guru mengijinkan agar siswa melakukan penemuan sendiri
informasi dalam suasana tradisional.[5]
Sebagian
para ahli ada juga yang berpendapat, discovery merupakan suatu proses
mental dimana anak atau individu mengasimilasikan konsep dan prinsip-prinsip. Discovery
terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan proses mentalnya
agar memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau
prinsip.[6]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan discovery adalah suatu
pendekatan yang dimana siswa dituntut untuk melakukan penemuan sendiri suatu
masalah dengan memerlukan
proses mental,
seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, menjelaskan, dan mengambil
kesimpulan.
b. Kelebihan
Pendekatan Discoveri (Discovery Approach).
Pendekatan
Discoveri memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1) pengetahuan yang diperoleh
dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah diingat, dibandingkan
dengan cara-cara lain, 2) dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan
untuk berpikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi
untuk memecahkan permasalahan, 3) dapat membangkitkan keingintahuan siswa,
memotivasi siswa untuk bekerja terus sampai mereka menemukan jawabannya.
Pendekatan
discovery (discovery approach) sebagai sebuah teori belajar yang dapat
didefinisikan sebagai belajar, yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan
pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan untuk mengorganisasikan
sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery learning can be defined
as the learning that takes place when the student is not presented with
subject matter in the final form, but rather is required to organize in him self”[7]
c. Implementasi Discovery
Approach
Apabila
dalam suatu proses pembelajaran digunakan pendekatan penemuan, berarti dalam
kegiatan belajar mengajar siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri fakta
dan konsep tentang fenomena ilmiah. Penemuan tidak terbatas pada menemukan
sesuatu yang benar-benar baru. Pada umumnya materi yang akan dipelajari sudah
ditentukan oleh guru, demikian pula situasi yang menunjang proses pemahaman
tersebut. Siswa akan melakukan kegiatan secara langsung berhubungan dengan hal
yang ditemukan.
Dengan
pendekatan penemuan ini dibedakan menjadi penemuan terpimpin (guided
discovery) dan penemuan terpimpin yang kurang terstruktur (less
structured guided discovery), dan penemuan bebas (free discovery).
Pada
penemuan terbimbing guru mengemukakan masalah, memberi pengarahan mengenai
pemecahan, dan membimbing siswa dalam hal mencatat data. Sebagai contoh dalam
proses memahami struktur tubuh serangga, guru menyiapkan kaca pembesar dan
sejenis kumbang. Siswa diminta mengamati kumbang dengan menggunakan kaca
pembesar tersebut. Setelah beberapa lama mengamati, siswa diminta melaporkan
kesimpulan dan hasil pengamatannya. Jika ditemukan perbedaan kesimpulan antara
beberapa kelompok, dilakukan diskusi bersama untuk membahas permasalahan
tersebut.
Siswa
diberi kesempatan untuk mengulangi pengamatan secara lebih teliti sehingga pada
akhirnya dapat dicapai kesepakatan mengenai penemuan mereka. Pada penemuan
terpimpin yang kurang terstruktur guru mengemukakan masalah, siswa diminta
mengamati, mengeksploitasi dan melakukan kegiatan untuk memecahkan masalah. Sedangkan
pada penemuan bebas, dari memunculkan masalah sampai pemecahan masalahnya
dilakukan sendiri oleh siswa. Penemuan bebas ini pada umumnya diarahkan bagi
siswa yang lebih tua usianya dan lebih berpengalaman.[8]
Ada
lima tahapan yang harus ditempuh dalam melaksanakan pendekatan discovery
(penemuan) yakni: (1) perumusan masalah untuk dipecahkan siswa. (2)
menetapkan jawaban sementara atau lebih dikenal dengan istilah hipotesis. (3)
siswa mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan/hipotesis. (4) menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi, dan
(5) mengaplikasikan kesimpulan/generalisasi dalam situasi baru.[9]
[1]
Nuryani R, Strategi
Belajar Mengajar Biologi (Sains), (Malang; UM Press, 2005), hlm. 92
[2]
Roestiyah. Strategi
Belajar Mengajar. (Jakarta: Bina Aksara.1986), hlm. 20
[3]
Nuryani R, op.cit.,hlm.
95-96.
[4]
Sofa, Pendekatan
Discovery, Inquiry Dan STS Dalam Pembelajaran Fisika (http:www.google.com,
diakses 09 Oktober 2009)
[5]
Oemar
hamalik, Pendidikan Guru Konsep Dan Strategi (Bandung: Mandar Maju, 1991),
hlm.136
[6]
Mulyati
Arifin,dkk, Strategi Belajar Mengajar kimia (Malang: UM Press, 2005),
hlm. 125
[7]
R.
Levancois Guy. Ametembun, N. A, Psychology For Teaching/ Psikologi Untuk Mengajar.(
Bandung: Intisari, 1986), hlm. 103.
[8]
Nuryani r,Op.cit
., hlm. 96.
[9]
Syaiful
Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan problematika
Belajar dan Mengajar,(Bandung, CV Alfabeta, 2009), hlm. 197
0 comments:
Post a Comment