Pages

Monday, January 14, 2013

Partai Golongan Karya (Golkar)



Sejarah Kepartaian di Indonesia

GOLKAR yang sekarang menjadi Partai GOLKAR, memiliki akar sejarah panjang   dalam kehidupan politik dan kepartaian di Indonesia. Kehidupan kepartaian di   Indonesia pasca-kemerdekaan 17 Agustus 1945, diawali dengan dikeluarkannya   Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945, tentang pembentukan   Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dimaksudkan
untuk menjalankan   fungsi-fungsi pemerintahan dan legislative sebelum terbentuknya Majelis   Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Maklumat tersebut diikuti   dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah, 3 November 1945 tentang anjuran   kepada rakyat untuk partai-partai dalam jumlah yang banyak dan memperjuangkan   kepentingan-kepentingan kelompoknya dengan warna “ideology-aliran”.

Pada Tahun 1955, pemilu pertama kali dilakukan untuk memilih anggota DPR (260   kursi) dan Konstituante yang bertugas membentuk Undang-Undang Dasar (520   kursi). Pemilu 1955 diikuti oleh 28 Partai Politik dan Individu. Pemilu   pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang dilakukan secara demokratis.    Pemilu 1955 menghasilkan empat besar kekuatan politik berdasarkan prosentase   perolehan suara sebagai berikut : PNI (22,3 %), Masyumi (20,9 %), NU (18,4   %), PKI (16,4 %).

Sistem pemerintahan yang dianut pada era tersebut adalah Sistem Parlementer,   dimana Presiden bertintak sebagai Kepala Negara, sedangkan Perdana Menteri   sebagai Kepala Pemerintahan. Sistem Parlementer menempatkan partai-partai   politik di parlemen sebagai kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut   pengaruh dan menjatuhkan. Kehidupan politik multipartai pada era Demokrasi   Parlementer/Liberal yang berlangsung hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada   praktiknya ditandai dengan :
  1. Pertama, tidak adanya stabilitas politik dengan jatuh bangunnya kabinet     pemerintahan.
  2. Kedua, terjadi pemberontakan di berbagai daerah sebagai bentuk perlawanan     atas pemerintah pusat (DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi     Selatan dan Kalimantan Selatan; serta PRRI/PERMESTA di Sumatera dan     Sulawesi).
  3. Ketiga, terjadi persaingan politik berdasarkan “ideology aliran” yang keras     di Parlemen maupun pada praktik kehidupan politik sehari-hari, sehingga     memperkuat sentiment anti-parpol, termasuk yang ditunjukkan oleh Presiden     Soekarno yang sejak awal menginginkan partai tunggal.
  4. Keempat, kekuatan politik komunis (PKI) memperoleh tempat yang leluasa untuk    berkembang, dan memunculkan perlawanan dari militer dan berbagai kalangan     anti-Komunis.


Dalam rangka memulihkan stabilitas politik dan keamanan setelah mengatasi   berbagai pemberontakan, serta membendung arus politik Komunisme, pada tahun   1957 kalangan TNI berinisiatif mengorganisasikan Golongan fungsional dengan   membentuk berbagai Badan Kerjasama Sipil-Militer (BKS), seperti: Badan   Kerjasama Buruh Militer; Badan Kerjasama Tani-Militer; Badan Kerjasama   Pemuda-Militer, Badan Kerjasama Wanita-Militer; Badan Kerjasama   Ulama-Militer; dan sebagainya. 

Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang   membubarkan Badan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Hal   tersebut menandai era Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Pada era   Demokrasi Terpimpin, jumlah partai yang diakui berkurang menjadi 10 Partai   Politik (setelah PSI dan Masyumi dibekukan). Tetapi, di bawah praktik politik   NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang diterapkan oleh Soekarno, membuat   PKI sangat leluasa memainkan pengaruhnya.

Sejarah Kelahiran Sekber Golkar

Untuk menghadapi ancaman PKI yang gencar menyebarkan paham Komunisme yang   bertentangan dengan ideology Pancasila, TNI AD antara lain mendirikan   Organisasi-organisasi masyarakat yakni Sentral Organisasi Karyawan Sosialis   Indonesia (SOKSI), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO) dan Musyawarah   Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).

7.Dalam perkembangannya, guna menghadapi tekanan PKI dan dalam rangka   pelaksanaan UUD 1945, maka golongan fungsional yang didukung TNI berjuang   keras memformalkan kehadirannya, hingga akhirnya keluar Peraturan Presiden   Nomor 12 tahun 1959, yang secara resmi mengangkat 200 orang wakil Golongan   Fungsional di MPRS.

Kemenangan Golongan Fungsional dalam perkembangannya dipertegas kembali oleh   Keputusan Presiden Nomor 193 tahun 1964 dimana mereka memiliki perwakilan di   Front Nasional-badan politik yang dibentuk dalam kerangka politik Soekarno   yang dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan partai-partai politik.

Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional   di MPRS dan Front Nasional, atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama   GOLONGAN KARYA (SEKBER GOLKAR) pada tanggal 20 Oktober 1964 (yang kemudian   diperingati sebagai Hari lahir GOLKAR dan Partai GOLKAR)

Pada mulanya SEKBER GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional,    berkembang menjadi 97 federasi/perhimpunan organ non-afiliatif (baik yang    bersifat keagamaan maupun non-keagamaan) hingga akhirnya menjadi 291    organisasi. Banyaknya jumlah anggota tersebut dimotivasi oleh kepentingan    bersama di dalam menghadapi Komunis dan mempertahankan ideology Pancasila    dan UUD 1945.

Dengan demikian, kehadiran SEKBER GOLKAR sebagai cikal bakal GOLKAR dan    Partai Golkar, merupakan :
  1. Wadah bagi organisasi-organisasi yang anti-komunis dalam rangka membela,       mengamankan, dan mempertahankan ideology Pancasila.
  2. Sebagai kekuatan pembaru yang dapat menjadi alternative yang berbeda dengan     partai-partai politik yang bertumpu pada “ideology aliran”.

Dengan demikian jelas bahwa sejak awal ideology GOLKAR adalah Pancasila.    GOLKAR hadir untuk membela ideology Pancasila dari ronrongan pihak-pihak    yang hendak menggantikannya dengan ideologi lainnya. Dengan mengedepankan    ideologi Pancasila, maka GOLKAR tidak mengedepankan ideology aliran,    melainkan berorientasi pada program dan pembangunan sebagai wujud pengamalan    Pancasila.

PARTISIPASI GOLKAR DALAM PEMILU MASA ORDE BARU

Setelah Orde Baru hadir pada tahun 1966, SEKBER GOLKAR terus melakukan konsolidasi. Dalam perkembangannya, melalui Rakornas II (November 1967) dilakukan pengelompokan organisasi berdasarkan kekaryaannya dalam 7 Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu ; Kino KOSGORO, Kino SOKSI, Kino MKGR, Kino Profesi, Kino Ormas Hankam, Kino GAKARI, dan Kino Gerakan Pembangunan.

Seiring dengan rencana Pemilu yang melalui Ketetapan MPR No.XLII/MPRS/1968 bahwa Pemilu diselenggarakan selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971, pemerintah Orde Baru berupaya mencari kekuatan politik yang didukung pada Pemilu tersebut. Antara lain wacana yang mengemuka adalah dengan mendukung NU. Tetapi dengan pertimbangan masih kentalnyan a suasana “politik aliran” dan NASAKOM, maka akhirnya yang didukung adalah SEKBER GOLKAR.

Pilihan pada GOLKAR, karena tidak diragukan lagi kiprah dan perjuangannya dalam melawan pihak-pihak yang mencoba menggantikan Pancasila dengan ideology lain, dan sejak berdirinya GOLKAR berdasarkan atau berideologi Pancasila, sehingga sesuai dengan tekad Orde Baru di dalam menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Keikutsertaan SEKBER GOLKAR pada Pemilu 1971 dimungkinkan oleh UU No.15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Dalam rangka menghadapi Pemilu 1971, pada tahun 1969 keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 yang mengatur PNS/Birokrasi agar mentaati asas monoloyalitas.

Pada Pemilu pertama kali masa Orde Baru tahun 1971, dengan dukungan penuh militer dan birokrasi, SEKBER GOLKAR yang kemudian menjadi GOLKAR berhasil meraih suara sebesar 62,80 % atau lebih 34 juta pemilih (236 kursi dari 360 kursi di DPR).

Dalam rangka penataan dan penyederhanaan system kepartaian pada tahun 1973, terjadi kesepakatan antara pemerintah dan tokoh-tokoh nasional untuk melakukan fusi partai-partai politik ke dalam tiga kelompok dengan pendekatan :
  1. Kelompok parpol yang di dalam program perjuangannya menitikberatkan pada aspek-aspek pembangunan yang bersifat spiritual dengan tidak mengabaikan pada aspek-aspek pembangunan material : bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan atau PPP (meliputi NU, PARMUSI, PSII, PERTI).
  2. Kelompok parpol yang di dalam program perjuangannya menitikberatkan pada aspek-aspek pembangunan yang bersifat material dengan tidak mengabaikan pada aspek-aspek pembangunan spiritual bergabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia atau PDI (meliputi PNI, MURBA, Partai Katolik, PARKINDO, IPKI).
  3. Organisasi sosial politik yang di dalam perjuangannya memperhatikan keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual,  yakni GOLKAR.


Dalam Pemilu-pemilu setelah Pemilu 1971 (1977-1997 kontestan Pemilu terdiri dari PPP, GOLKAR, dan PDI, sebagaimana diatur dalam UU No.3 tahun 1975 tentang PARPOL dan GOLKAR. UU tersebut menerapkan kebijakan massa mengambang (floating mass) dimana secara structural parpol tidak memiliki kepengurusan sampai tingkat pedesaan.

Dalam setiap Pemilu Orde Baru (1971 s/d 1997), GOLKAR selalu mendapatkan kemenangan dengan prosentase perolehan suara sebagai berikut : Pemilu 1971 sebanyak 62,80%, 1977 sebanyak 62,12%, 1982 sebanyak 64,34%, 1987 sebanyak 73,20%, 1992 sebanyak 68.00%, dan Pemilu 1997 sebanyak 74,54%.

PARTAI GOLKAR DI ERA REFORMASI

Pada awal era reformasi tahun 1998, guna mengantisipasi perubahan perundang-undangan bidang politik yang baru, Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) tahun 1998 merekomendasikan bahwa GOLKAR siap berubah menjadi Parpol. Setelah ditetapkannya UU No.2 tahun 1999 tentang Partai Politik, dideklarasikanlah Partai GOLKAR pada 7 Maret 1999. Munaslub 1998 menetapkan Paradigma Baru Partai GOLKAR sebagai respons dalam menyikapi perubahan/reformasi politik yang ada. Secara structural paradigm baru tersebut menghasilkan perubahan dalam struktur organisasi ditandai antara lain penghapusan Dewan Pembina, pengambilan keputusan yang demokratis dan bersifat bottom up (aspirasi dari bawah), serta bersifat mandiri, demokratis, dan responsif.

Pada Pemilu-pemilu era reformasi (Pemilu 1999, 2004, 2009) Partai GOLKAR berkompetisi dengan banyak Partai Politik (Pemilu 1999 ada 48 Parpol, Pemilu 2004 ada 24 Parpol, dan Pemilu 2009 sebanyak 38 Parpol) dengan hasil perolehan dukungan suara sebagai berikut :
  1. Pada Pemilu 1999 Partai GOLKAR memperoleh dukungan 23,7 Juta suara (22,4%)   atau 120 kursi dari 550 kursi yang diperebutkan dan berada pada peringkat   kedua.
  2. Pada Pemilu 2004 Partai GOLKAR memperoleh dukungan 24,5 Juta suara (21,6%)   atau 128 kursi dari 560 kursi yang diperebutkan dan berada pada peringkat   pertama.
  3. Pada Pemilu 2009 Partai GOLKAR memperoleh dukungan 15,0 Juta suara (14,5%)   atau 106 kursi dari 560 kursi yang diperebutkan dan berada pada peringkat   kedua

Dari catatan perolehan dukungan suara/kursi tersebut, tampak terdapat   kecenderungan penurunan dukungan suara pada Pemilu legislatif 2004 ke 2009.   Meskipun demikian Partai GOLKAR memutuskan untuk mendukung pemerintahan   SBY-Budiono (2009-2014) dengan berpartisipasi dalam Sekretariat Gabungan  (SETGAB) Koalisi.

Golongan Karya mengalami masa-masa kejayaan di zaman Orde Baru. Kekuatan Golongan Karya pada masa Orde Baru yaitu 3 Jalur : Jalur A (ABRI), B (Birokrasi), G (Golongan Karya)
Pada tahun 1998 terjadi Reformasi, sehingga menuntut Orsospol Golongan Karya melakukan perubahan menjadi Partai Golkar melalui Forum Munaslub yang merupakan pengambil keputusan tertinggi pada tahun 1998.

PEROLEHAN SUARA DARI PEMILU KE PEMILU

Masa Orde Baru
  • Pemilu 1971 memproleh 33 kursi dari 36 kursi yang diperebutkan 36+ jatah ABRI 9 kursi = 45 kursi
  • Pemilu 1977 memperoleh 36 kursi (100 %)
  • Pemilu 1982
  • Pemilu 1987
  • Pemilu 1992
  • Pemilu 1997

Masa Orde Reformasi
  • Pemilu 1999 Partai Golkar memperoleh 31 Kursi dari 45 Kursi yang diperebutkan
  • Pemilu 2004 Partai Golkar memperoleh 28 Kursi dari 45 Kursi yang diperebutkan
  • Pemilu 2009 Partai Golkar memperoleh 18 Kursi dari 45 Kursi yang diperebutkan
  • Pemilu 2014 ……..?


Bacaan Terkait:


0 comments:

Post a Comment