1.
Pancasila
Sebagai Landasan Ideal
a.
Sejarah Lahirnya Pancasila
Ideologi dan dasar negara kita adalah pancasila. Pancasila
terdiri dari lima sila kelima sila itu adalah:
1)
Ketuhanan
yang maha esa
2)
Kemanusiaan
yang adil dan beradap
3)
Persatuan
Indonesia
4)
Kerakyatan
yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5)
Keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia
Sebelum tanggal 17 agustus 1945 Indonesia belum merdeka.
Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain seperti portugis, Inggris, Belanda,
Jepang. Paling lama menjajah adalah Belanda. Sebelum kedatangan bangsa asing,
indonesia terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka misalnya Sriwijaya,
Majapahit, Demak, Mataram, Ternate dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut
bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata
maupun politik.
Pejuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir
penjajah, dalam hal ini belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan
selalu mengalami kegagalan. Penjajah Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatbya
tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia di duduki oleh tentara Jepang.
Mulai tahun 1945, tentara jepang kalah oleh sekutu. Untuk
menarik simpati, jepang memberikan janji kemerdekaan janji ini diucapkan oleh
perdana menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Karena keadaan jepang
terus menerus mendesak, maka pada tanggal 39 april 1945 jepang memberikan janji
kemerdekaan bangsa indonesia yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang
dituangkan dalam maklumat Gunseikan (pembesar tertinggin sipil dari pemerintah
militer jaepang di jawa dan madura) no 23. Dalam maklumat itu sekaligus dimuat
dasar pembentkan BPUPKI. Tugas badan ini adalh menyelidiki dan mengumpulkan
usul-uslu untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintahan Jepang untuk
dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Anggota BPUPKI dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945-1 Juni 1945.
Pada sidang pertama banyak orang yang berbicara dua
diantarany Muhammad yamin dan Bung kiarno yang masing-masin g mengusulkan
caloin dasr negara.Muhammad yamin mengajukan usul secara lisan dan tertulis.
Contoh srcara lisan:
1)
Peri
kebangsaan
2)
Peri
kemanusiaan
3)
Peri
ketuhanan
4)
Peri
kerakyatan
5)
Kesejahteraan
Contoh
secara tertulis:
1)
Ketuhanan
yang maha esa.
2)
Persatuan
Indonesia.
3)
Rasa
kemanusiaan yang adil dan beradap
4)
Kerakyatn
yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
5)
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bung karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang
terdiri atas Lima hal yaitu:
1)
Nasionalisme
2)
Internasionalisme
3)
Mufakat/demokrasi
4)
Kesejahteraan
sosial
5)
Ketuhanan
yang berkebudayaan
Kelima hal ini oleh bung Karno diberi nama pancasila. Kelima
sila tersebut dapt dipers menjadi Trisila yaitu:
1)
Sosionasionalisme
2)
Sosiodemokrasi
3)
Ketuhanan
Selesai sidang pertama pada 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI
sepakat untuk membentuk panitai kecil tugasnya adlah menampung usul-usul yang
masuk dan memriksa serta melaporkan kepadasidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap
anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai
dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil terdiri dari 8 orang
yaitu:
1)
Ir.
Sukarno
2)
Ki
bagus Hadi Kusumo
3)
KH
Wahid Hasyim
4)
Mr.
Muh Yamin
5)
M.
Sutardjo Kartohadi Kusumo
6)
Mr.
A.A Maramis
7)
R.
Otto Iskandar Dinata
8)
Drs.
Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara
panitia kecil, dengan para panitia kecil dengan para anggota BPUPKI yang
berdomisil di Jakarta.Hasil yang dicapai antara lain disetujinya dibentuk
sebuah panitia kecil penyelidik usul-usul perumus dasar negara, yang terdiri
atas sembilan orang.
Panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang itu pada
tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon mukadimah
hukum dasar atau dikenal “piagam Jakarta”
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1946, hasil
yang dicapai adalah merumuskan rancangan hukum dasar.Pada tanggal 9 agustus
dibentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI).Pada tanggal 15 Agustus
1945 jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, dan sejak itu Indonesia kosong
dari kekuasaan.Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para
pemimpin bangsa Indonesia yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia,
pada tanggal 17 Agustus.Sehari setelah proklamasi kemerdekaan mengadakan
sidang.
Bung hatta mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus sore
hari ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya. Intinya rakyat
Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea ke empat preambul,
dibelakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan menjalankan syariat-syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian
Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja
diproklamasiakan. Usul ini oleh Muh Hatta disampaikan kepada tokoh-tokoh islam,
demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan
dan kesatuan mrngingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh Islam
merelazkan dicoretnya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “ketuhanan yang maha esa”.
b.
Pandangan Pancasila sebagai
Pandangan Hidup dan Hubungannya sebagai umat Islam
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia memilik
hubungan yang sangat erat.Karena, pada dasarnya butir-butir yang ada didalamnya
merupakan butir-butir yang terdapat dalam kandungan ajaran Islam.
Selain itu politik syariat Islam yang telah dilaksanakan
pada masa lampau boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik
interpretasi ideologi (teologis).
Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada
kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik
lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan
lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam
kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama
dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan
filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaa untuk semua golongan.
Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan
Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957.
Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia
tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan
kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan
kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945
yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan
penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama
dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas.
c.
Bagaimanakah pelaksanaan Pancasila
dalam Sistem Pendidikan Nasional kita
Pada hakikatnya pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah
memiliki tujuan agar siswa mampu mengaplikasikan butir-butir yang terdapat
dalam Pancasila.Namun, pada pelaksanaannya masih belum maksimal dapat difahami
oleh siswa. Hal itu disebabkan karena apa yang menjadi tujuan pemerintah
tersebut tidak dibarengi dengan perangkat dan media agar pendidik dapat
menyampaikannya secara maksimal.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa siswa Sekolah
Dasar/MI adalah cikal bakal para pemimpin bangsa. Yang pasti akan menjadi
harapan bangsa dalam menjalankan Pancasila dalam kegiatan sehari-harinya baik
itu di dunia pendidikan, di sekolah, di masyarakat. Selanjutnya, mereka sudah
pasti menjadi pemimpin-pemimpin di Negara ini.Maka hal yang harus diperhatikan
adalah sejauh mana kecintaannya terhadap bangsa dan Negara ini.
2.
Masyarakat
Madani(civil society)
a.
Pengertian
Masyarakat Madani (civil society)
Dawam Rahardjo (dalam A. Ubaedillah, 2010:177)
mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan yang mengacu kepada
nilai-nilai kebijakan bersama. Dalam masyarakat madani warga Negara bekerjasama
membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang
bersifat non Negara.Dasar utamanya adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan
permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Istilah yang dirumuskan Dawam Rahardjo dirumuskan beberapa
macam:
1.
Indonesia:
a. Masyarakat Sipil (Mansour Fakih);
b. Masyarakat Warga (Soetandyo
Wignjosubroto);
c. Masyarakat Kewargaan (Frans Magnis
Suseno dan M. Ryaas Rasyid);
d. Masyarakat Madani
(Anwar Ibrahim, Nurcholish
Madjid, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra);
e. Civil Society, tidak diterjemahkan
(A.S. Hikam).
2.
Asing:
a. Koinonia
Politike
(Aristoteles);
b. Societas
Civilis (Cicero);
c. Comonitas
Civilis, Comonitas Politica, Societe Civile (Tocquiville);
d. Burgerlishe
Gesellschaft
(F. Hegerl);
e. Civil
Society (Adam
Ferguson);
f. Civitas
Etat.
Adapun menurut Nurcholish Madjid, makna masyarakat madani
berasal dari kata civility, yang mengandung makna toleransi, kesediaan
pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah
laku sosial.
b.
Pilar-pilar
Masyarakat Madani (civil society)
Dari gambaran
masyarakat madani yang dibangun Rasulullah, sesuatu yang patut digali ialah
pilar-pilar yang menyebabkan masyarakat seperti itu dapat terbentuk. Ada
beberapa pilar yang mungkin dapat dikemukakan disini:
1) Mengedepankan
kesadaran kemanusiaan (Humanisme)
Yang mula-mula
dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan atau tindakan adalah bahwa semuanya
manusia. Hanya “manusia” yang diciptakan oleh Allah dan dimuliakannya, dan
dinafikan dari hal-hal yang menyebabkan masing-masingnya berbeda, baik karena
sifat-sifat bawaan khilqiyyah
(seperti warna kulit, etnis, dst), maupun karena hal-hal khuluqiyyah, yang datang kemudian (seperti budaya, tabiat,
pendapat, fikiran, dan keyakinan, serta agama). Dengan itu, maka dalam
mengambil tindakan, atau pergaulan, dipisahkan antara manusia dan
sifat-sifatnya yang ada, dengan fokus perhatian pada “manusia” atau
“kemanusiaan”nya, melampaui batas-batas perbedaan apapun yang ada, termasuk
perbedaan fikiran, keyakinan, dan agama.
2) Mengedapankan
inisiatif diri (Ibda’ bi nafsik)
Sikap introspeksi dalam
melihat kekurangan dan mengambil inisiatif dalam mempersembahkan kebaikan dan
keunggulan telah jidikan patokan dalam mengambil kebijakan. Dengan demikian
dalam setiap kebijakan yang diambil jauh dari “nafsu” menghakimi, menghukum,
apalagi mendendam (orang lain) dan berangkat dari “semangat” memaklumi (tasaamuch), menolong (taraahum), melayani (tawaadu’), dan memberdayakan (ihyaa),
dengan menjadikan dirinya sebagai teladan.
3) Mengedepankan
perspektif Masa Depan (Wal Aachiratu
Khairun)
Kesadaran akan “proses”
dikembangkan secara positif. Dengan demikian segala sesuatu difikirkan secara
matang, hati-hati dan teliti, dan menyadari segala sesuatunya tidak akan
terjadi serta merta (kun fayakun).
Dengan demikian, maka keinginan, cita-cita, harapan tidak dipaksakan mendadak,
namun dengan positif diusahakan dan diyakini keberhasilannya dii masa yang akan
datang, bahkan melampaui titik akhir kehidupannya, sampai akhirat. Sikap ini
telah dapat menghindari dari banyak tindakan ad hoc dan pemenuhan kepentingan
sesaat.
4) Mengedepankan
peraihan penghargaan Allah (Thalab
Mardlaatillah)
Disadari betul
keterbatasan-keterbatasan manusia, maka yang diupayakan adalah keridlaan Allah
semata.Dengan itu, maka setiap kebijakan dan tindakannya tidak mengatasnamakan
siapa-siapa, tidak mewakili kepentingan siapa-siapa, dan bukan dalam rangka
apa-apa, kecuali memohonkan hidayah dan ridlanya. Dengan sikap seperti ini,
berarti menghindar dari kebijakan dan tindakan yang merugikan seseorang, atau
suatu kelompok dengan keuntungan orang atau kelompok yang lain.
Pilar-pilar itulah yang
telah ditemukan dalam kehidupan masyarakat madani di masa Rasulullah, sehingga
kehidupan agama dari masing-masing pemeluk mengalir apa adanya dan justru
implementasi “keislamam” Rasulullah yang demikian itu, telah mengalirkan
kehidupan beragama kearah yang dikehendaki dan diharapkan Islam, hingga melahirkan
peradaban yang mencerahkan.
c.
Pandangan
tentang Cerminan Indonesia sebagai Masyarakat Madani(civil society)
Dalam memasuki milenium
III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status
quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang diharapkan adalah
masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan
partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak
yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi,
menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia.
0 comments:
Post a Comment